Beranda | Artikel
Liberalisme, Pluralisme Dan Inklusivisme, Dahulu Hingga Sekarang
Rabu, 20 Juli 2011

LIBERALISME, PLURALISME DAN INKLUSIVISME, DAHULU DAN SEKARANG

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Maidani

Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan agama), sebagai ekses dari keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut. Mereka mengatakan, bahwasanya Allah menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu” adalah berhala dan semua yang disembah, baik berupa pepohonan, bebatuan, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang disembah itu adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut kaum sufi.

Seperti dikatakan oleh ‘Abdul-Karim al-Jîli:
Lâ ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain adalah Aku. Akulah yang menampakkan diri dalam wujud berhala-berhala, bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang menjelma dalam wujud segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun. Sesembahan-sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu berhala-berhala itu Aku sebut sebagai ilâh (sesembahan).

Penyebutan kalimat ilâh bagi berhala-berhala tersebut adalah secara hakiki dan bukan majazi (kiasan). Tidak seperti asumsi ahli zhahir (maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh karena para penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan tersebut. Bukan maksudnya berhala-berhala itu benar-benar ilâh! Ini merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap Allah. Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal dari Dzat Allah.

Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allah adalah hakikat segala sesuatu. Bila Allah menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak sebagaimana asumsi ahli taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan asumsi mereka itu, berarti bebatuan, bintang-bintang, seluruh benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allah yang berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak benar!

Yang benar ialah, Allah menjelaskan kepada mereka (para penyembah berhala) bahwa berhala-berhala mereka itu adalah jelmaan Allah. Artinya, status berhala-berhala tersebut sebagai ilaah adalah benar adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allah.

Allah berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu tidak ada sesuatu apapun yang disebut sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya beribadah kepada-Ku saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap makhluk dimudahkan untuk sesuatu yang telah digariskan atas mereka”. Yaitu untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Allah juga berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Ku”.

Dalam ayat di atas, Allah telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam, bahwa para penyembah berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud berhala jelmaan Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah dari seluruh wujud jelmaan Allah, Allah berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1]

Al-Aththar berkata: “Hanya ada satu wujud dalam pandangan seorang insan, baik dalam wujud Ka’bah maupun dalam wujud gereja”.[2]

Asy-Sya’rani mengatakan: “Ketahuilah, seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya dengan cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia tetap masuk surga”.[3]

Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah ini. Banyak pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya. Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan bahwa ia menganut keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala itu tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama seperti Ka’bah, gereja sama seperti masjid, seiring dengan bertukar-tukarnya penjelmaan Allah. Dia-lah yang menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu.

Dalam syairnya ia berkata:
Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu
Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput
dengan biara para ruhban (ahli ibadah)
tidak ada beda antara rumah berhala dengan Ka’bah
begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur`ân
Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama
kemana saja kendaraanku menghadap[4]

Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku
Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya
terdapat teladan yang baik bagi kita.
Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila,
Serta kisah Mayy dan Ghailan.[5]

Dalam syair lain ia berkata:
Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput
Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum
Kekasihku menjelma menjadi tiga
yang sebelumnya hanyalah satu.
Sebagaimana mereka menyebut satu oknum
dengan beberapa identitas.[6]

Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna, adalah yang dapat melihat seluruh sesembahan yang disembah menjelma dalam wujud Allah. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya ilâh (sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah, adalah sebuah martabat yang tergambar di benak penyembah berhala; seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang terlihat oleh penyembah berhala itu adalah Allah yang menjelma pada benda-benda khusus yang disembahnya itu”.[7]

Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan Bani Israil tidak lain adalah penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun Alaihissalam. Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak sapi itu. Beliau mengetahui secara pasti, Allah telah menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah kecuali Allah. Dan ketetapan Allah tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah Nabi Musa Alaihissallam menegur Nabi Harun Alaihisallam yang menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang ‘arif (yang telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah pada segala sesuatu. Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat segala sesuatu”.[8]

Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa pandang bulu apakah ia seorang muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah nyata bagimu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di arah mana saja. Yang berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan belaka. Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar berhak mendapat pahala. Dan setiap yang mendapat pahala pasti bahagia. Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat keridhaan. Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[9]

Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali mereka adalah kenikmatan. Namun mereka tetap berada di neraka, sebab neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh keselamatan setelah habis masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke dalam api. Beliau merasa takut dan tersiksa melihat api tersebut, karena mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau juga mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan benda apa saja yang dikehendaki Allah. Setelah penghuni neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan dan kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka dalam pandangan manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli ilahi”.[10]

Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang, mereka juga menyuarakan seperti itu namun dengan nada yang sedikit berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan agama! Semua bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal di atas syariat.

Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmun. Sejak itu, seruan kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal.

Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a watershed in history” dan “the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para sejarawan menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern.

Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdah, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-Nahdah.

Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas.

Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat linnas), namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, tetapi juga berada dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?

Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu generasi awal yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi, sebab utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir, yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 1878 Sa’dullah, seorang intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’.” (Lewis 1964:47).

Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para pembaharu atau liberalis muslim generasi awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa.

Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu keadaan saat individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam pemahaman at-Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu memengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”.

Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan emansipasi perempuan di dunia Islam.

Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi perempuan. Tetapi, sistem kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang dia maksud dengan “sistem kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem pemerintahan khilafah.

Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah sistem pemerintahan Kerajaan ‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abdur-Raziq juga memandang kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya, sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu sebabnya, Abdur-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada sistem politik yang lebih baik, sudah seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga melestarikan kebodohan dan keterbelakangan.

Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasah al-Imam dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam.

Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh dalam al-‘Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, ‘Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal.

Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi baru yang lebih banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh paling sentral dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya tentang sekularisasi, pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang mengartikan “Lâ ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang menjadi “tempat berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya.

Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya liberalis-liberalis baru. Sebut saja Harun Nasution, ‘Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali dan Ahmad Syafii Ma`arif, adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan dalam semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.[11]

Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara adalah murni urusan dunia, dan sistem manapun yang dipakai tidak menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama, menyuarakan emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak.[12]

Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum muslimin. Lalu apa kewajiban kaum muslimin? Bagaimana cara menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum muslimin?

Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal wakil! Boleh kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syar’i secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya:

  1. Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar aqidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta.
  2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan kesadaran membela kesucian dan kehormatan Islam.
  3. Menutup seluruh saluran masuknya produk-produk dan arus pemikiran barat.
  4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya paham-paham sesat ini agar mereka tidak terjerat jaring-jaringnya.
  5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus.
  6. Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang teguh nilai-nilai Islam dalam diri mereka dan orang-orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim, hendaklah memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka.
  7. Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka dibekali dengan kesiapan untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin.
  8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka. Orang-orang kaya hendaklah memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka.

Maraji`:

  1. Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid.
  2. Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz.
  3. Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir.
  4. Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk., Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation, Jakarta, 2004.
  5. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003.
  6. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, insistnet.com., 2004.
  7. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath baina Dinil-Islam wa Ghairihi minal-Adyan.
  8. Harian Kompas.
  9. Majalah Gatra, edisi 3 April 2004.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99.
[2] Manthiquth-Thair, Fariduddin Aththar, Darul Andalus, Beirut, hlm. 389.
[3] Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58.
[4] Maksudnya, agama apapun yang kuanut.
[5] Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya.
[6] Ibid., hlm. 52-53.
[7] Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195.
[8] Ibid., hlm. 192.
[9] Ibid., hlm. 114.
[10] Ibid., hlm 169-170.
[11] Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
[12] Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3128-liberalisme-pluralisme-dan-inklusivisme-dahulu-hingga-sekarang.html